
Laboratorium: Tafsiran QS. Al-‘Asr dalam Konten Keislaman Digital
Penulis: Ahmad Izza Azhima – [email protected]
Pendahuluan
Perkembangan teknologi digital membawa perubahan besar dalam cara umat Islam mengakses ajaran agama, termasuk Al-Qur’an. Media sosial kini menjadi ruang baru bagi penyebaran dakwah, namun sayangnya, tidak sedikit konten yang mengutip ayat Al-Qur’an dengan interpretasi yang tidak sesuai dengan tafsir yang otoritatif. Salah satu contoh yang penulis temukan adalah video dakwah singkat yang menarasikan pesan “jangan menyia- nyiakan waktu karena waktu seperti pedang” dan mencantumkan QS. Al-‘Asr ayat 1–3 sebagai dalil. Padahal, ayat tersebut menurut tafsir para ulama klasik memuat makna yang jauh lebih luas, yakni tentang kerugian manusia kecuali yang beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran serta kesabaran. Fenomena ini menunjukkan adanya penyempitan makna ayat yang berpotensi menyesatkan pemahaman masyarakat, khususnya yang awam terhadap ilmu tafsir. Fokus dari penelitian ini adalah mengkaji kesesuaian antara isi konten dakwah digital tersebut dengan makna QS. Al-‘Asr yang sesungguhnya menurut literatur tafsir, serta urgensi literasi digital dalam menyaring pemahaman keagamaan.
Sejumlah penelitian sebelumnya turut menyoroti pentingnya literasi digital dalam menghadapi tantangan penafsiran Al-Qur’an di era teknologi. Mubarok dan Romdhoni (2021) menyebut bahwa media sosial membuka peluang siapa saja untuk menafsirkan Al-Qur’an, bahkan oleh mereka yang baru mengenal agama melalui media digital, sehingga berisiko melahirkan penafsiran yang kabur dan tidak ilmiah. Yusuf dan Satra (2024) juga menemukan bahwa teknologi digital memang mempermudah akses terhadap tafsir Al-Qur’an, namun tantangan besar muncul dalam bentuk rendahnya literasi digital pengguna dan kurangnya validitas sumber informasi yang digunakan dalam tafsir digital. Sementara itu, Lestari dan Saidah (2023) menyoroti bahwa rendahnya kemampuan literasi digital masyarakat Indonesia turut menjadi penyebab mudahnya hoaks keagamaan menyebar luas melalui media sosial.
Dari ketiga penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa literasi digital keislaman sangat penting agar masyarakat dapat membedakan antara tafsir yang benar dengan sekadar opini personal yang dibungkus kutipan ayat.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis salah satu konten dakwah digital yang menggunakan QS. Al-‘Asr sebagai dasar narasi motivasional dan mengkaji kesesuaiannya dengan penafsiran para mufassir. Selain itu, penelitian ini juga ingin menyoroti urgensi peningkatan literasi digital berbasis keislaman dalam masyarakat, khususnya dalam menyikapi informasi keagamaan di internet. Minimnya kajian yang secara khusus membedah penyimpangan makna dalam konten viral menjadikan studi ini relevan dan penting untuk mengisi kekosongan kajian tafsir di ruang digital.
Penelitian ini menarik dan penting karena memberikan pemahaman tentang bagaimana ayat-ayat Al-Qur’an dapat disalahgunakan secara tidak sengaja melalui konten yang terkesan religius namun tidak ilmiah. Fenomena ini bukan hanya soal penyebaran konten motivasi, tetapi juga berkaitan dengan otoritas penafsiran dan tanggung jawab dakwah di era digital. Dengan mengangkat contoh spesifik QS. Al-‘Asr, penelitian ini memberikan kontribusi pada kajian literasi digital keislaman, sekaligus menjadi pengingat bahwa penyampaian ajaran agama harus berbasis ilmu yang benar dan metode tafsir yang sahih.
Pedoman Etika dalam Penggunaan Media Sosial
Studi ini secara khusus menganalisis satu contoh konten keislaman digital yang membahas QS. Al-‘Asr, yaitu sebuah video pendek berdurasi 1 menit yang diunggah di platform TikTok. Konten ini menampilkan narator dengan latar musik motivasional yang menyampaikan bahwa QS. Al-‘Asr adalah “ jangan menyia-nyiakan waktu karena waktu seperti pedang.” Namun, dalam penyampaiannya tidak ada referensi kepada tafsir ulama klasik maupun penjelasan kontekstual ayat. Narasi dalam video lebih menekankan pentingnya tidak menyia-nyiakan waktu dan terus berusaha dalam hidup.
Video ini disampaikan dengan gaya visual dinamis dan kalimat-kalimat motivasional yang menggugah semangat, menyasar segmen audiens remaja dan dewasa muda yang aktif di media sosial dan akrab dengan format konten cepat dan emosional. Penyajian ayat dilakukan tanpa pendalaman teologis, namun kuat dalam aspek retoris dan visual.
Hal ini dapat membuat audiens bingung dengan apa yang di sampaikan oleh pembuat konten sebab jika di lihat dari arti ayat yang dibawakan sudah berbeda dengan apa yang disampaikan oleh pembuat konten dan kalau pun itu tafsir atau motivasi tidak ada tertulis keterangan bahwa tulisan tersebut merujuk pada dianatara kedau hal tadi.
Penggunaan media sosial memerlukan pemahaman akan batasan-batasan tertentu guna menjaga etika komunikasi secara lisan. Keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial dapat dicapai dengan merujuk pada sejumlah prinsip yang berfungsi sebagai pedoman etis dalam menyampaikan pesan di ruang digital. Berikut empat prinsip yang penting untuk dipahami:
Prinsip Paternalistik
Media sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan pemikiran dan sikap masyarakat. Ungkapan “kita adalah apa yang kita baca atau tonton” mencerminkan bagaimana konten media membentuk identitas kita. Oleh sebab itu, penting bagi masyarakat untuk memiliki kendali atas informasi yang beredar agar dapat mencegah penyebaran konten yang merugikan publik.
Prinsip Bahaya (Harm Principle)
Kebebasan berekspresi di media sosial tidak bersifat mutlak. Batasan diperlukan agar interaksi tidak menimbulkan kerugian atau menyakiti pihak lain. Dengan membatasi konten yang dapat merugikan, komunikasi menjadi lebih aman dan bertanggung jawab.
Prinsip Pelanggaran (Offense Principle)
Dalam menyampaikan pendapat atau informasi, perlu diperhatikan sensitivitas orang lain. Menghindari penyampaian yang dapat menimbulkan keresahan atau kegelisahan menjadi bagian dari etika berkomunikasi yang harus dijaga.
Prinsip Moral
Prinsip ini menekankan bahwa nilai baik dan buruk dalam bermedia sosial sangat dipengaruhi oleh norma masyarakat. Apa yang dianggap salah oleh masyarakat bisa menjadi tolak ukur kesalahan individu. Oleh karena itu, pengguna media sosial perlu mempertimbangkan nilai-nilai moral yang berlaku di lingkungan sosialnya.
Dari pandangan Islam, etika dalam bermedia sosial menekankan pentingnya kehati- hatian dalam memilih kata dan bahasa, agar nilai-nilai kebaikan tercermin dalam setiap bentuk komunikasi. Konten yang dibagikan seharusnya mengandung informasi yang benar dan membawa manfaat, sehingga tidak menyesatkan audiens atau menimbulkan kerugian bagi orang lain. Hal ini mendorong terciptanya ruang digital yang edukatif dan konstruktif. Dengan membagikan konten yang bernilai positif, seseorang turut berkontribusi dalam memperluas wawasan serta memperdalam pemahaman masyarakat. Karena itu, ketelitian dalam berbahasa menjadi hal yang esensial agar pesan yang disampaikan mencerminkan nilai-nilai Islam. Prinsip ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah An-Nahl ayat 125:
اُدْعُ اِٰلى سَبِيْلِ رَبِ’كَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِ ,ه وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.
Menurut Sintia Hariani Wirianti dalam jurnalnya yang berjudul Etika Memproduksi Konten Media Sosial Perspektif Al-Qur’an, yang mengutip pendapat Jamaluddin Abu al-Farji’ Abdurrahman Bin ‘Ali Bin Muhammad Al-Jauziy, ayat tersebut mengajarkan kita untuk berkomunikasi dan berinteraksi di media sosial dengan kebijaksanaan dan tata cara yang cerdas. Dalam konteks media sosial, prinsip ini dapat diterapkan dengan mendorong komunikasi yang bijaksana dan penuh wawasan. Sebagaimana diungkapkan oleh Al-Jauziy, meskipun kita berinteraksi dengan individu yang memiliki karakter keras atau sulit, tetaplah berkomunikasi dengan cara yang bertanggung jawab dan penuh hikmah, menggunakan bahasa yang baik, santun, dan penuh kelembutan agar pesan dapat diterima dengan baik oleh audiens yang mengonsumsi konten tersebut.
Analisis Perbandingan Tafsir Klasik At-Thabari dan konten digital
Surah Al-‘Asr adalah salah satu surah pendek dalam Al-Qur’an, namun mengandung makna yang sangat dalam dan menjadi peringatan keras bagi umat manusia. Dalam penafsiran klasik, salah satunya oleh Imam At-Thabari, ayat ini dimaknai sebagai sumpah Allah atas waktu (‘ashr), untuk menegaskan pentingnya waktu dalam kehidupan manusia. Waktu bukan sekadar dimensi berjalan, melainkan sesuatu yang akan dihisab. Imam At-Thabari menjelaskan bahwa manusia berada dalam kerugian mutlak kecuali mereka yang memenuhi empat syarat utama, yakni: beriman, beramal shalih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran. Konsep “rugi” menurut At-Thabari bukanlah sekadar kegagalan duniawi, tetapi kerugian abadi di akhirat, berupa kehilangan rahmat Allah dan masuknya seseorang ke dalam azab jika ia menyia-nyiakan waktu hidupnya tanpa amal kebaikan.
Sementara itu, dalam konten digital populer, tafsir terhadap QS. Al-‘Asr sering kali disederhanakan dan dimaknai ulang dalam konteks motivasi hidup atau produktivitas personal. Ayat ini kerap diangkat dalam narasi seperti “janganlah kita menyia-nyiakan waktu, sebab waktu seperti pedang yang setiap saat bisa memotong kepala kita jika kita tidak memperhatikannya dengan saksama.” Ungkapan ini, meskipun mengandung kebenaran dalam konteks urgensi mengelola waktu, memiliki shifting makna dari dimensi ukhrawi ke dimensi sekuler dan individualistik. Kerugian dalam konteks ini sering diartikan sebagai kegagalan dalam karier, bisnis, atau pencapaian target hidup. Iman dan amal shalih digantikan oleh kerja keras, semangat, dan berpikir positif, sedangkan “saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran” berubah menjadi afirmasi motivasional antar pengguna media sosial untuk terus produktif dan tidak menyerah dalam mengejar mimpi pribadi.
Perbedaan paling mencolok terletak pada tujuan akhir yang dituju oleh dua pendekatan ini. Tafsir At-Thabari berorientasi pada kehidupan akhirat dan keselamatan ruhani, di mana waktu adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Adapun dalam narasi konten populer, tujuan akhirnya adalah kesuksesan duniawi, pencapaian personal, dan reputasi sosial.
Respon Audiens: Tafsir atau Hiburan Bermuatan Agama?
Dalam era digital saat ini, ayat-ayat suci Al-Qur’an semakin sering muncul dalam format visual yang memikat dengan latar estetik, musik melankolis, dan narasi teks yang menyentuh emosi. Salah satu contohnya dapat ditemukan dalam unggahan TikTok yang menampilkan kutipan QS. Al-‘Asr ayat 1–3 dengan gaya visual pixel art bergaya anime yang sepi dan syahdu. Ayat tersebut dimunculkan dalam narasi bebas:
“Janganlah kita menyia-nyiakan waktu. Sebab waktu seperti pedang yang setiap saat bisa memotong kepala kita, jika kita tidak memperhatikan waktu dengan seksama.”
Sekilas, kutipan ini tampak seperti terjemahan langsung dari Al-Qur’an. Namun jika ditelusuri lebih dalam, jelas bahwa itu bukan arti harfiah dari ayat yang dimaksud. Ayat-ayat QS. Al-‘Asr sebenarnya berbunyi:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang- orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.”
Perbedaan ini menunjukkan bahwa teks yang ditampilkan di video adalah bentuk interpretasi atau parafrase bebas mungkin terinspirasi dari khazanah hikmah Islam klasik seperti ungkapan “waktu ibarat pedang” bukan terjemahan yang sahih atau tafsir akademis. Namun karena tidak disertai penjelasan, audiens mudah mengira bahwa teks tersebut adalah arti langsung dari ayat.
Respons dari para penonton memperkuat hal ini. Komentar seperti:
- “izin save bang”
- “semangat ka ngonten nya”
- emoji ekspresif
- atau bahkan dukungan spontan seperti “#FREE PALESTINE #ALLEYESONRAFAH”
menunjukkan bahwa audiens menangkap pesan tersebut secara emosional, bukan sebagai ajakan reflektif terhadap makna teologis ayat. QS. Al-‘Asr yang seharusnya menjadi peringatan serius tentang urgensi iman, amal, dan solidaritas kebenaran, justru diterjemahkan sebagai semangat hidup personal yang umum mirip motivasi harian tentang menghargai waktu. Estetika visual video turut memengaruhi penerimaan ini. Lanskap sunyi, suasana hujan, dan sentuhan visual ala Studio Ghibli mengarahkan penonton untuk menghayati momen tersebut secara melankolis dan kontemplatif. Ini menjadikan ayat suci tidak lagi hanya sebagai teks spiritual, tapi juga sebagai cultural object pesan moral yang bisa dinikmati secara visual, disimpan, atau dibagikan.
Namun, ini juga mengindikasikan tantangan penting: ketika teks agama digunakan tanpa konteks yang tepat di media sosial, ia rentan mengalami penyederhanaan makna bahkan distorsi. Ayat yang kaya makna teologis dapat dipersempit menjadi sekadar “quote” yang relatable secara emosional. Apalagi jika narasinya tidak menjelaskan bahwa itu adalah interpretasi bebas, bukan terjemahan otoritatif.
Dengan demikian, fenomena ini menempatkan kita pada simpang jalan: apakah kita sedang menyaksikan perluasan jangkauan dakwah melalui medium populer, atau justru pergeseran makna teks suci ke arah hiburan spiritual yang ringan?
Perluasan jangkauan dakwah melalui media sosial memberikan kesempatan yang sangat besar untuk menyebarkan ajaran Islam ke audiens yang lebih luas, tanpa terbatas oleh ruang dan waktu. Dakwah yang biasanya hanya bisa disampaikan melalui mimbar agama atau media tradisional kini dapat dijangkau melalui berbagai platform media sosial yang lebih mudah diakses oleh generasi muda dan masyarakat umum. Dalam konteks ini, nilai-nilai Islam yang tercermin dalam Al-Qur’an dan Hadis bisa lebih mudah disebarkan dalam bentuk yang ringan dan mudah dipahami, sehingga memudahkan banyak orang untuk mengakses dan memahami ajaran agama.
Namun, di sisi lain, fenomena ini juga membawa potensi penyimpangan makna dari teks-teks suci. Media sosial terkadang mengubah pesan-pesan keagamaan menjadi lebih ringan dan kurang mendalam, dengan tujuan agar pesan tersebut lebih mudah diterima atau lebih menarik perhatian audiens. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya kedalaman makna Al-Qur’an, sehingga pesan-pesan yang disampaikan lebih mirip hiburan spiritual atau konten motivasional, bukan sebagai sumber ajaran yang sahih dan mendalam. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa penyampaian dakwah tidak mengorbankan kedalaman dan makna asli dari teks-teks suci tersebut.
Al-Qur’an memberikan petunjuk yang jelas tentang bagaimana berkomunikasi dengan bijaksana, yakni dengan prinsip-prinsip yang terarah dan tepat. Salah satunya adalah prinsip tabayyun (klarifikasi), yang mengajarkan kita untuk memastikan kebenaran informasi atau penafsiran sebelum membagikannya. Selain itu, kata al-qaul yang sering disebutkan dalam Al-Qur’an menekankan pentingnya kata-kata yang benar, jelas, dan bermanfaat dalam berkomunikasi, baik di dunia maya maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai kesimpulan, fenomena ini menunjukkan adanya dua sisi yang perlu diwaspadai. Di satu sisi, media sosial memungkinkan perluasan jangkauan dakwah yang membawa banyak kebaikan, namun di sisi lain, ada potensi pergeseran makna yang bisa mengaburkan pesan-pesan asli dari teks suci. Oleh karena itu, sebagai pengguna media sosial, kita harus bijaksana dalam menyampaikan atau menerima informasi keagamaan, memastikan bahwa pesan yang dibagikan sesuai dengan ajaran Islam yang sahih dan bermanfaat bagi umat.
Referensi
al-Ṭabarī, Ibn Jarīr. Tafsīr Ath-Ṭabarī Juz ‘Amma. Terj. oleh Ahmad Muhammad Syākir dan Maḥmūd Muhammad Syākir, disunting oleh Ahmad Abdurrazīq al-Bakrī dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Jumriani, Hamdani Thaha, and Amalia Harani Maddika. “Etika Berkomunikasi di Media Sosial dalam Perspektif Al-Qur’an.” Journal of Islamic Family Law 3, no. 2 (December 2022).
Lestari, Munabiah Munabiah, dan Musfiah Saidah. “Penanganan Hoaks Keagamaan di Sosial Media Melalui Literasi Digital Milenial.” Meyarsa: Jurnal Ilmu Komunikasi dan Dakwah 4, no. 1 (23 Juni 2023).
Mubarok, Muhamad Fajar, dan Muhamad Fanji Romdhoni. “Digitalisasi al-Qur’an dan Tafsir Media Sosial di Indonesia.” Jurnal Ilmu Komunikasi 1, no. 1 (2021).
Nurasih, Wiji, dkk. “Islam dan Etika Bermedia Sosial bagi Generasi Milenial: Telaah Surat Al- ’Asr.” Al-Mishbah 16, no. 1 (Januari–Juni 2020).
Wirianti, Sintia Hariani. “Etika Memproduksi Konten Media Sosial Perspektif Al-Qur’an.” Journal Islamic Pedagogia 3, no. 2 (8 September 2023).
Yusuf, Moh. HM, dan Muhammad Satra. “KAJIAN TAFSIR AL-QURAN DI ERA DIGITAL: LITERASI DAN PENGARUH TEKNOLOGI.” Jurnal Literasiologi 12, no. 5 (2024).
Tag:Laboratorium