
Kaprodi IAT dalam Pandiran Baisukan: “Urang Banjar dan Budaya Sungai”
BANJARMASIN, 10 Oktober 2025– Program budaya “Pandiran Baisukan” RRI Pro 4 Banjarmasin kembali hadir dengan tema “Urang Banjar dan Budaya Sungai,” membahas nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Banjar yang hidup berdampingan dengan sungai sebagai pusat ekonomi, sosial, dan spiritual. Siaran yang dipandu oleh Elly ini menghadirkan dua narasumber dari UIN Antasari Banjarmasin, yakni Riza Saputra, M.A., dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, serta Muhammad Ilyas, mahasiswa dari fakultas yang sama.
Sejak awal siaran, Elly memperkenalkan “Pandiran Baisukan” sebagai ruang dialog budaya yang mengangkat warisan Banjar dan dapat disimak melalui frekuensi 87,7 FM dan 105,9 FM atau via RRI Digital dan kanal YouTube resmi. Pada edisi kali ini, pembahasan diarahkan untuk menggali makna sungai bagi orang Banjar dan bagaimana nilai-nilai itu bertahan di tengah modernisasi.
Bapak Riza Saputra membuka percakapan dengan mengenang masa kecilnya di tepian sungai. Ia menceritakan bagaimana masyarakat dahulu menggunakan klotok (perahu tradisional) dalam acara pernikahan, dan betapa jernihnya air sungai hingga dasar dapat terlihat. Kini, katanya, fungsi sungai telah bergeser: dari jalur transportasi utama menjadi lokasi pemukiman dan aktivitas darat. “Dulu sungai adalah tempat belajar berenang, tempat berkumpul, bahkan tempat hidup. Bagi urang Banjar, sungai itu keluarga,” ujarnya.
Muhammad Ilyas kemudian memberikan pandangan generasi muda. Menurutnya, sungai kini lebih banyak dipandang sebagai peluang ekonomi dan pariwisata, seperti pasar terapung dan wisata susur sungai. Namun, ia mengingatkan bahwa kebanggaan ini harus diiringi kesadaran menjaga kebersihan. “Banyak orang bangga dengan sungai, tapi masih membuang sampah sembarangan. Ini paradoks yang harus disadari,” ucapnya.
Diskusi juga mengulas data pencemaran sungai di Banjarmasin. Bapak Riza menuturkan bahwa sekitar 6.000 ton sampah plastik masuk ke sungai setiap tahun, yang memperparah kondisi lingkungan. Ia menegaskan, dahulu sampah yang dibuang bersifat organik sehingga mudah terurai, tetapi kini dominan non-organik dan berbahaya. Meski begitu, tradisi sungai seperti maunjun, mahancow, dan malunta (kegiatan memancing tradisional) masih lestari di beberapa daerah.
Dalam siaran ini kemudian menyoroti pelestarian budaya melalui berbagai kebijakan pemerintah, seperti penataan kawasan rumah lanting dan festival sungai yang memperkenalkan kembali kearifan lokal Banjar kepada masyarakat luas. “Identitas kita sebagai Kota Seribu Sungai harus diiringi perilaku menjaga sungai. Pemerintah boleh menata, tapi kesadaran warga lebih penting,” tutur Bapak Riza.
Selain membahas ekologi, dalam siaran ini juga menyoroti nilai spiritual yang melekat pada sungai. Riza dan Ilyas menjelaskan bahwa ritual melabuh yakni melarung benda simbolik ke sungai sebagai tanda syukur masih dilakukan di sekitar pasar terapung. Tradisi ini juga mencakup doa dan pemilihan kayu khusus dalam pembuatan jukung atau sampan tradisional, demi keselamatan dan berkah. “Membuat jukung bukan sekadar kerja tangan, tapi juga kerja hati. Ada nilai doa, ada rasa hormat terhadap alam,” kata Bapak Riza.
Keberadaan pengrajin jukung di daerah seperti Kuin dan Sungai Paku Alam menjadi bukti bahwa warisan budaya sungai tetap hidup. Bahkan kini, tradisi tersebut semakin mendapat ruang melalui festival tahunan dan wisata budaya yang digelar bersama masyarakat.
Menutup perbincangan, kedua narasumber sepakat bahwa sungai adalah simbol kehidupan orang Banjar yang tidak boleh diabaikan. Mereka mengajak generasi muda untuk memandang sungai bukan hanya sebagai lanskap wisata, tetapi juga warisan budaya dan spiritual yang harus dijaga. “Kalau sungai hilang, hilanglah ruh urang Banjar. Mari rawat sungai seperti kita merawat diri sendiri,” pesan Bapak Riza.